Meniti Mimpi Mandiri

admin   2016-06-20   Komentar Dinonaktifkan pada Meniti Mimpi Mandiri

UKMSukses.com  Tampaknya belakangan ini makin banyak orang yang terketuk hatinya untuk memilih berwirausaha alias membuka usaha sendiri sebagai sumber matapencahariannya. Entah karena terpaksa, trend, malas untel-untelan antri melamar kerja atau malah kecemplung nda sengaja.

Banyak pasti alasannya, tapi sudahlah, saya tak merasa berhak untuk secara teoritis mengulitinya satu per satu. Baiknya mereview saja perjalanan saya sampai akhirnya berkubang penuh di dunia wirausaha sekarang ini.

Sekitar 12 tahun lalu, ditengah berbunga-bunganya hati saya karena baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan besar, bos saya bertanya,

Rencana kamu ke depan akan bagaimana?

Entah sadar atau tidak, penuh antusias saya menjawab,

Seperti kebanyakan desainer grafis, saya juga memimpikan punya studio desain sendiri mba suatu saat nanti

Rupanya kalimat itu yang diam-diam bersemayam di hati saya, hingga setelah menimba ilmu di sana-sini, lima tahun yang lalu saya memutuskan untuk berhenti menjadi karyawan dan memulai usaha studio desain grafis saya.

Bukan perkara mudah. Saat pertamakali melaunching pemikiran itu secara serius ke para kerabat, hanya 1 orang yang mendukung. Sisanya yang sekian puluh menentang, termasuk ibu saya tercinta. Keluarga saya memang bukan keluarga yang memiliki tradisi wirausaha. Saya paham, mereka tak bermaksud memberati, hanya mereka khawatir jalan baru yang ingin saya terabas ini terlalu terjal dan akan membuat saya jatuh, klenger atau malah tak bangun lagi.

Saya lalu merenung dalam-dalam. Merambati kata hati yang sudah bergelut sangat kencang belakangan ini. Jika terus menjadi karyawan, hidup saya lebih tenang. Terima gaji tiap bulan walau kenaikannya tak signifikan. Pekerjaan pasti tiap hari, pun jam kerjanya. Jika saya memilih wirausaha, kerjaan tak pasti ada walau mungkin juga sangat banyak, pendapatan belum tentu, banyak hal baru yang saya harus pelajari. Banyak aktivitas lain yang bisa saya kerjakan. Mungkin beberapa orang bisa terbantu mendapatkan pekerjaan, setidaknya satu orang yang akan menggantikan saya di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, dan beberapa orang lain bisa ikut bergabung jika kelak usaha saya berkembang. Hmm, sepertinya lebih bermanfaat bagi banyak orang.

Nah, hitung-hitungan itu semua memuarakan saya pada keyakinan untuk memulai wirausaha. Sukses? Tidak tentu saja awalnya. Pendapatan saya turun jadi hanya 10% dibanding gaji saya sebelumnya, sedangkan waktu kerja justru membengkak tak karuan. Kadang saya harus bekerja sampai jam 2 pagi demi menyelesaikan pesanan klien. Tapi entah kenapa, saya bahagia saja menjalaninya, padahal saya juga harus membagi waktu dengan kuliah saya yang baru saja berlanjut setelah saya resign sebagai karyawan. Dalam bahasa keren, mungkin ini yang disebut idealisme.

Mundur? Tentu tidak. Saya malah menambah aktivitas saya dengan kembali mengajar 2 hari dalam seminggu ketika perlahan usaha saya mulai menggeliat dan sudah mendapat bantuan dari beberapa orang yang bergabung dalam tim kerja saya. Saat itu yang saya pikirkan adalah membuat hidup saya bermafaat bagi lebih banyak orang, sambil terus belajar.

Dulu, ketika masih menjadi karyawan saya pernah berpikir, pasti sulit sekali bagi mereka yang bekerja sambil melanjutkan kuliah

lalu saya mencobanya, ternyata lama-lama bisa juga. kemudian berpikir lagi, Kalau kerja, kuliah sambil ngajar juga, pasti susah sekali ya

Tak lama kemudian saya melakukannya, dan juga alhamdulillah lancar-lancar saja. Sejak itu saja jadi malas berpikir macam-macam, baiknya, untuk hal yang baik ya langsung saja lakukan, sebelum malah nda jadi karena terlalu banyak mikirnya. Itu juga yang saya lakukan ketika akhirnya ber-wirausaha.

Saya lalu merenung dalam-dalam. Merambati kata hati yang sudah bergelut sangat kencang belakangan ini. Jika terus menjadi karyawan, hidup saya lebih tenang. Terima gaji tiap bulan walau kenaikannya tak signifikan. Pekerjaan pasti tiap hari, pun jam kerjanya. Jika saya memilih wirausaha, kerjaan tak pasti ada walau mungkin juga sangat banyak, pendapatan belum tentu, banyak hal baru yang saya harus pelajari. Banyak aktivitas lain yang bisa saya kerjakan. Mungkin beberapa orang bisa terbantu mendapatkan pekerjaan, setidaknya satu orang yang akan menggantikan saya di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, dan beberapa orang lain bisa ikut bergabung jika kelak usaha saya berkembang. Hmm, sepertinya lebih bermanfaat bagi banyak orang.

Nah, hitung-hitungan itu semua memuarakan saya pada keyakinan untuk memulai wirausaha. Sukses? Tidak tentu saja awalnya. Pendapatan saya turun jadi hanya 10% dibanding gaji saya sebelumnya, sedangkan waktu kerja justru membengkak tak karuan. Kadang saya harus bekerja sampai jam 2 pagi demi menyelesaikan pesanan klien. Tapi entah kenapa, saya bahagia saja menjalaninya, padahal saya juga harus membagi waktu dengan kuliah saya yang baru saja berlanjut setelah saya resign sebagai karyawan. Dalam bahasa keren, mungkin ini yang disebut idealisme.

Mundur? Tentu tidak. Saya malah menambah aktivitas saya dengan kembali mengajar 2 hari dalam seminggu ketika perlahan usaha saya mulai menggeliat dan sudah mendapat bantuan dari beberapa orang yang bergabung dalam tim kerja saya. Saat itu yang saya pikirkan adalah membuat hidup saya bermafaat bagi lebih banyak orang, sambil terus belajar.

Dulu, ketika masih menjadi karyawan saya pernah berpikir, pasti sulit sekali bagi mereka yang bekerja sambil melanjutkan kuliah

lalu saya mencobanya, ternyata lama-lama bisa juga. kemudian berpikir lagi, Kalau kerja, kuliah sambil ngajar juga, pasti susah sekali ya

Tak lama kemudian saya melakukannya, dan juga alhamdulillah lancar-lancar saja. Sejak itu saja jadi malas berpikir macam-macam, baiknya, untuk hal yang baik ya langsung saja lakukan, sebelum malah nda jadi karena terlalu banyak mikirnya. Itu juga yang saya lakukan ketika akhirnya ber-wirausaha.

Hal terberat yang harus saya lakukan adalah mengubah sikap dan mindset, dari karyawan perusahaan besar yang penuh fasilitas dan diprioritaskan para vendor, menjadi wirausaha mandiri yang harus men-serve klien. Apalagi beberapa klien juga merupakan teman lama di tempat saya pernah bekerja. Ahh.. betul-betul pengalaman baru yang seru. Melatih kesabaran dan membunuh kesombongan. Alhamdulillah.

Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa suatu saat nanti akan ada 20an orang yang bisa ikut bekerja bersama saya di sini. Tak pernah terbayang juga banyak hal lain yang pelan-pelan (kalau tak mau bilang dipaksa) saya pelajari untuk bisa memajukan usaha saya. Juga tak terbayangkan jika ternyata pada tahun kelima, usaha saya bisa menempati gedung berlantai tiga yang lebih layak ketimbang tempat usaha sebelumnya. Keluarga saya bukan hanya tak lagi menentang, mereka kini justru bangga salah satu anaknya berwirausaha. Untuk materi? Saya sering berpikir bagaimana berusaha dengan tekun, baik dan jujur, insyaAllah pendapatan materi akan mengikuti sebagai konsekuensinya. Alhamdulillah semua itu terjadi.

Lalu apakah semua harus menjadi pengusaha seperti semangat yang banyak dikobarkan belakangan ini? Saya sendiri memilih tidak menjawab ya untuk itu. Karena saya yakin tiap orang memiliki jalannya masing-masing. Jadi senyamannya saja. Jika tiba waktunya kebutan hati begitu kencang untuk berwirausaha, dan punya cukup keberanian akan ketidak pastian, lakukan. Toh kalau semua jadi pengusaha ya juga akan bingung, yang jadi karyawan trus siapa?

Sampai hari ini saya masih menjalani beberapa aktivitas yang rasanya cuma bisa saya lakukan jika saya berwirausaha. Mengajar dua kali seminggu, menjalani hobi memotret, menulis, berbicara di forum diskusi yang sesuai, mencoba bisnis baru, sambil tentu saja terus belajar, merawat dan mengembangkan usaha saya agar bisa bermanfaat bagi lebih banyak orang.

Jadi, tertarik untuk memulai usaha? Bermimpilah karena itu gratis. Lalu wujudkan agar tak sia-sia.

GO ENTREPRENEUR!